Hubungan Politik, kekuasaan, dan birokrasi adalah suatu dialektika dalam
pemerintahan Indonesia seiring dengan perkembangan situasi
ketatanegaraan. Baik itu dimasa kerajaan, masa kolonial sampai dengan
setelah kemerdekaan. Politik dan kekuasaan mempunyai pengaruh yang luar
biasa atas fungsi dan peran birokrasi Indonesia selama ini. Meskipun
dalam keilmuan yang disampaikan dalam kuliah anda Birokrasi seharusnya
bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat namun pada kenyataannya
tidak lebih dari pelayan penguasa yang juga menunjukan keberpihakan
pada politik dan kekuasaan.
Dan perlu untuk dicatat adalah, pengaruh kuat pemerintah terhadap
birokrasi sebenarnya menjadikan mesin birokrasi sulit memberi pelayanan
publik yang profesional, bahkan cenderung rentan terhadap tarik-menarik
kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan
patologi birokrasi lainnya. Sehingga, masyarakat kita melihat birokrasi
(administrasi negara) adalah sama dengan pemerintah bahkan mungkin bagi
anda yang diembel-embeli kader birokrasi (praja IPDN). Padahal keduanya
berbeda dan tidak dapat disamakan. Dalam kontek Indonesia, pembedaan
birokrasi (administrasi negara) dengan pemerintah, memang sepertinya
dibuat sebagai sesuatu hal yang tidak berbeda (sama). Inilah yang
menjadikan peran eksekutif (pejabat politik) tetap dominan dan berkuasa
penuh atas birokrasi.
Tulisan ini mencoba mecari sudut pandang tersendiri terhadap netralitas
birokrasi dengan mendorong pemahaman ideal bahwa birokrasi adalah mesin
yang tetap jalan meskipun dengan kondisi politik bagaimanapun. Yang
perlu anda catat adalah. Birokrasi merupakan alat negara yang berkerja
berdasarkan aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan
tersendiri. karenanya, hubungan antara birokrasi dan eksekutif menjadi
suatu area yang harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi
sungguh-sungguh adalah abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan.
Politik birokrasi adalah politik kenegaraan dan bukan politik kekuasaan.
Adapun pokok-pokok pemikiran dalam tulisan ini didasarkan atas enam
basis analisis, pertama bahwa pemerintah adalah salah satu cabang
kekuasaan dalam konsep trias politika yang dikenal dengan eksekutif.
Wilayah eksekutif dalam konsep ini adalah yang terpilih melalui Pilpres
dan Pilkada yakni Presiden dan Wakil Presiden maupun Kepala Daerah.
Kedua, administrasi negara merupakan organ birokrasi negara yang adalah
alat-alat negara dengan menjalankan tugas-tugas negara, salah satunya
adalah tugas pemerintahan. Sehingga pemerintah tidak selalu identik
dengan negara karena itu, aparat negara bukanlah melulu aparat
pemerintah.
Perlu diperhatikan juga sebagai basis analisa ketiga adalah bahwa
penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah
mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada
menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat. Keempat,
netralitas birokrasi jika hanya sebatas membebaskan administrasi negara
dari intervensi politik atau partai politik, sebagaimana dianut
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 pada dasarnya menjadi suatu
ambivalensi. Pemerintah sebagai bagian dari administrasi negara adalah
kekuasaan politik, sehingga akan sulit bagi pemerintah untuk tidak
mendatangkan pengaruh politik ke dalam birokrasi.
Kelima, administrasi negara dengan administrasi pemerintah harus
dipisahkan dengan menempatkan administrasi negara ke dalam bingkai
negara, sehingga administrasi negara benar-benar sebagai alat negara dan
abdi masyarakat, bukan alat pemerintah. Untuk itu penempatan
administrasi negara harus didasrkan atas aturan baru yang lebih kuat
atau bahkan konstitusi sendiri mengaturnya. Aturan tersebut benar-benar
harus menempatkan administrasi negara lebih mandiri dan netral.
Pilihannya, menyempurnakan aturan perundang-undangan yang sudah ada atau
membuat aturan baru yang lebih kuat. Melalui aturan perundang-undangan
yang baru, hubungan antara pemerintah dan administrasi negara ditata
ulang, sehingga posisi administrasi negara menjadi lebih independen dan
netral, utamanya terhadap pemerintah (eksekutif).
Dalam konteks penataan birokrasi, netralitas birokrasi bukanlah jawaban
dari semua permasalahan dan patologi birokrasi kita. Namun netralitas
birokrasi setidaknya mendorong kearah idealnya posisi birokrasi di
tengah syahwat kekuasaan.